Jumat 10 Nov 2023 20:06 WIB

Dari 27 Caleg Eks Koruptor, 18 Sembunyikan Status Hukumnya

Sebanyak 18 dari 27 caleg eks koruptor menyembunyikan status hukumnya di profilnya.

Rep: Febryan A/ Red: Bilal Ramadhan
Ilustrasi Caleg. Sebanyak 18 caleg eks koruptor menyembunyikan status hukumnya di profilnya.
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Caleg. Sebanyak 18 caleg eks koruptor menyembunyikan status hukumnya di profilnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 27 mantan terpidana kasus korupsi ditetapkan sebagai calon anggota legislatif (caleg) DPR RI Pemilu 2024. Namun, 18 orang di antaranya menyembunyikan status hukumnya, sehingga tidak bisa dilihat oleh pemilih. 

Hal itu diketahui setelah Republika menelusuri Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPR di laman resmi KPU RI, https://infopemilu.kpu.go.id/Pemilu/Dct_dpr pada Jumat (10/11/2023). Penelusuran dilakukan dengan mengecek satu per satu profil 27 caleg eks koruptor yang diungkap oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). 

Baca Juga

Berdasarkan hasil penelusuran tersebut, ditemukan bahwa 10 caleg eks koruptor tidak ditampilkan semua riwayat hidupnya. Alhasil, status hukum 10 orang itu tidak bisa pula dilihat. "Profil calon ini tidak bersedia untuk dipublikasi," demikian pesan yang muncul ketika Republika membuka profil 10 orang itu. 

Kemudian, ada tujuh caleg eks koruptor yang membuka riwayat hidupnya, kecuali status hukumnya. Adapun caleg eks pencuri uang rakyat yang mempublikasikan riwayat hidupnya dengan lengkap, termasuk status hukumnya, hanya sembilan orang. 

Lalu, ada satu caleg eks koruptor yang berbohong soal status hukumnya. Dalam riwayat hidupnya disebutkan bahwa tidak memiliki status hukum. 

Berikut daftar lengkap tampilan profil 18 caleg eks koruptor yang berupaya memanipulasi penilaian pemilih itu. Caleg DPR RI eks koruptor yang semua riwayat hidupnya tidak ditampilkan: 

1. Teuku Muhammad Nurlif, caleg Partai Golkar di Daerah Pemilihan (Dapil) Aceh I dengan nomor urut 1 

2. Syahrasaddin (Golkar, Dapil Jambi, nomor urut 6) 

3. Wendy Melfa (Golkar, Dapil Lampung I, nomor urut 5) 

4. Iqbal Wibisono (Golkar, Dapil Jawa Tengah I, nomor urut 2) 

5.  A. M. Nurdin Halid (Golkar, Dapil Sulawesi Selatan II, nomor urut 1) 

6. Bernard Sagrim (Golkar, Dapil Papua Barat Daya, nomor urut 2) 

7. Abdillah (Partai Nasdem, Dapil Sumatera Utara I, nomor urut 5) 

8. Evy Susanti (Partai Demokrat, Dapil Jawa Barat III, nomor urut 5) 

9. Lukas Uwuratuw (Demokrat, Dapil Maluku, nomor urut 4) 

10. Thaib Armaiyn (Demokrat, Dapil Maluku Utara, nomor urut 1)

Caleg DPR RI eks koruptor yang membuka riwayat hidupnya, tapi menutupi status hukumnya: 

1. Asep Ajidin (PDIP, Dapil Sumatera Barat II, nomor urut 4) 

2. Mochtar Mohamad (PDIP, Dapil Jawa Barat V, nomor urut 5) 

3. Rokhmin Dahuri (PDIP, Dapil Jawa Barat VIII, nomor urut 1) 

4. Al Amin N Nasution (PDIP, Dapil Jawa Tengah VII, nomor urut 4) 

5. Sani Ariyanto (Nasdem, Dapil Jawa Tengah VIII, nomor urut 4) 

6. Hendra Karianga (Perindo, Dapil Maluku Utara, nomor urut 1) 

7. Soleman Sikirit (Perindo, Dapil Papua Barat, nomor urut 1). 

Selain nama-nama yang sudah disebutkan di atas, ada satu lagi eks terpidana kasus korupsi yang jadi caleg DPR RI. Dia adalah mantan Wali Kota Medan, Rahudman Harahap yang diusung Partai Nasdem untuk bertarung di Dapil Sumatera Utara I dengan nomor urut 4. 

Anehnya, status hukum Rahudman berbunyi "Tidak Memiliki Status Hukum" di laman resmi KPU RI. Padahal, Rahudman terbukti mengorupsi Tunjangan Aparat Pemerintahan Desa (TAPD). Dia mencuri uang rakyat itu dalam kapasitas sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2004-2006. 

Mahkamah Agung (MA) dalam putusan kasasi Nomor 236 K/Pid.Sus/2014 tanggal 26 Maret 2014 menyatakan bahwa Rahudman terbukti melakukan korupsi dan menjatuhkan hukuman penjara 5 tahun. Rahudman lalu dijebloskan ke penjara pada 15 April 2014. 

Rahudman memang mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan kasasi tersebut, tapi MA tetap menyatakan Rahudman terbukti melakukan tindak pidana korupsi. MA lewat putusan Nomor 59 PK/Pid.Sus/2015 hanya mengurangi masa hukuman Rahudman menjadi 4 tahun penjara.

Tidak Wajib 

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyayangkan sikap 18 caleg tersebut yang enggan mengungkap status hukumnya secara terbuka dan jujur kepada publik. Democracy and Electoral  Empowerment Partnership (DEEP), sebuah lembaga pemantau pemilu yang terakreditasi di Bawaslu RI, juga menyampaikan pandangan serupa. 

Direktur DEEP Neni Nur Hayati menilai, 18 caleg itu sudah tidak jujur kepada pemilih sedari awal. Apabila terpilih, tentu kejujuran mereka dalam bekerja patut dipertanyakan, apalagi mereka pernah mencuri uang rakyat. 

Menurut Neni, 18 orang itu berupaya menyembunyikan status hukumnya sebagai mantan terpidana kasus korupsi demi memenangkan pemilihan. Mereka jelas berupaya memanipulasi penilaian para pemilih. 

"Publik pada akhirnya menjadi tidak tahu bagaimana rekam jejak caleg tersebut, apalagi dia pernah tersangkut kasus korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa. Penutupan status hukum itu membuat masyarakat tidak tahu dan akhirnya memilih dia," kata Neni kepada Republika, Jumat (10/11/2023). 

Neni mengatakan, 18 orang itu ingin menjadi pejabat publik, tapi tidak jujur soal dirinya kepada publik. Baik DEEP maupun Perludem punya pandangan sama bahwa persoalan ini tidak hanya kesalahan para caleg, melainkan juga KPU. Menurut mereka, KPU tidak perlu meminta izin para caleg untuk membuka riwayat hidup. Sebab, riwayat hidup adalah informasi publik, bukan informasi pribadi. 

KPU RI memang menyatakan bahwa pembulikasian riwayat hidup caleg, termasuk status hukumnya, harus mendapatkan persetujuan dari yang bersangkutan. Sebab riwayat hidup termasuk data pribadi yang dilindungi oleh Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi. 

"Tidak ada kewajiban bagi KPU untuk mempublikasikan status hukum seseorang, termasuk yang mantan terpidana," kata Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari, dikutip Jumat (10/11/2023). 

Kendati begitu, Hasyim menyebut pihaknya sudah melayangkan surat kepada pengurus pusat partai politik untuk menanyakan kesediaan para caleg-nya mempublikasikan riwayat hidup. KPU tak memberikan batas waktu akhir caleg memberikan izin membuka data dirinya. Apabila caleg sudah bersedia, maka KPU langsung mempublikasikannya. 

Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Golkar, Maman Abdurahman mengaku tidak memahami mengapa riwayat hidup semua caleg DPR partainya, termasuk yang mantan terpidana, tidak ditampilkan di situs resmi KPU. Dia menyebut Golkar pada dasarnya mempersilakan saja riwayat hidup semua caleg dipublikasikan.

"Saya kira fine aja (riwayat hidup caleg dibuka). Itu kan hak publik untuk mengetahui, ada di website-nya, kan. Kayaknya itu (ada kesalahan) di KPU, deh," kata Maman kepada Republika di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, dikutip Jumat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement