REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam acara debat cawapres pada Ahad (21/1/2024), Gibran Rakabuming Raka memberi pertanyaan tentang greenflation kepada Mahfud MD. Namun Mahfud enggan menjawabnya karena masalah receh.
Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Dradjad Wibowo, menyatakan greenflation bukan istilah slang atau istilah loose change dalam diskusi tersebut. Dradjad sebut mereka yang melihat greenflation hanya sekedar uang receh tidak mengetahui proses yang terlibat dalam pergerakan menuju ekonomi hijau, seperti penggunaan praktik berkelanjutan dan energi terbarukan.
“Tidak paham tantangan dan hambatan apa saja yang membuat transisi tersebut sangat lambat di dunia. Tidak paham risiko politik bahkan gejolak sosial yang bisa muncul akibat transisi tersebut,” kata Dradjad, dalam rilisnya, Senin (22/1/2024).
Ia menjelaskan, kata greenflation merupakan kata kontemporer yang semakin banyak digunakan oleh para ilmuwan, aktivis, pebisnis, bahkan politisi yang tertarik pada isu lingkungan.
“Dipakai mereka yang terlibat dalam urusan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” kata ekonom senior INDEF ini.
Sederhananya, kenaikan harga yang disebabkan oleh biaya transisi yang signifikan yang disebutkan di atas disebut sebagai greenflation, menurut Profesor Dradjad. Dengan kata lain, inflasi yang didorong oleh biaya adalah salah satu jenis greenflation.
Sebagai gambaran lain, beberapa negara telah menerapkan peraturan keberlanjutan yang ketat pada sektor korporasi. Selain mahal, memenuhi persyaratan ini akan menghasilkan greenflation. Harga karbon dan upaya lainnya juga demikian.
Oleh karena itu, permasalahan keberlanjutan, peralihan ke ekonomi hijau, serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim semuanya berpusat pada inflasi hijau. Karena transisi tersebut tidak dapat dihindari, solusi terhadap kesulitan ini perlu segera dikembangkan.
"Jadi itu bukanlah kata yang ambigu," kata Dradjad.