REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia (Ditjen HAM) Kemenkumham dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI kembali mengingatkan peserta Pemilu 2024 agar tak menyertakan anak dalam kegiatan kampanye. Sebab mereka sebenarnya tidak punya hak pilih.
"Kami sampaikan kepada peserta pemilu, jangan libatkan warga negara yang tidak memiliki hak pilih. Yang boleh menjadi peserta kegiatan kampanye adalah mereka yang memiliki hak pilih," kata Komisioner KPU RI Idham Kholik kepada wartawan setelah sosialisasi hak pemilih pemula yang diadakan Ditjen HAM di SMAN 68 Jakarta, kemarin.
Idham merujuk hal tersebut dalam Pasal 280 Ayat (2) Huruf k Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Isinya mengamanatkan bahwa pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan kampanye pemilu dilarang mengikutsertakan WNI yang tidak memiliki hak memilih.
"Dalam Pasal 280 Ayat (2) Huruf k dijelaskan bahwa pelaksana kampanye tidak boleh warga negara yang tidak memiliki hak pilih dan itu bisa terkategori pada tindak pidana," ujar Idham.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur anak tidak boleh ikut dalam aktivitas politik.
"Kalau kita merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Anak, yang namanya anak itu adalah usianya 18 tahun. Undang-Undang Perlindungan Anak menegaskan bahwa anak tidak boleh terlibat dalam aktivitas politik secara langsung," ujar Idham.
Sementara itu, Dirjen HAM Dhahana Putra turut mengingatkan peserta Pemilu agar tak menyertakan anak saat mengikuti aktivitas politik. Dhahana mewanti-wanti sanksi bisa dijatuhkan kepada pelanggar aturan kampanye tersebut.
"Tidak boleh melibatkan anak, karena mereka belum punyak hak pilih. Saya sepakat dengan KPU," ujar Dhahana.
Sebelumnya, Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) klaster Hak Sipil dan Kebebasan Sylvana Maria mengatakan bahwa pihaknya menerima aduan selama masa kampanye Pemilu 2024, di antaranya adalah anak-anak yang digunakan sebagai juru bicara calon-calon tertentu.
Kemudian, aduan paling banyak lainnya ke KPAI adalah anak-anak yang dijadikan objek politik uang, dibayar oleh para calon legislatif untuk melakukan kampanye. Selain itu, KPAI juga menerima informasi tentang tayangan viral anak-anak yang menyampaikan pendapat mengenai calon-calon tertentu.