REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Pemilihan umum atau Pemilu merupakan proses demokrasi bagi warga negara untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat, dimana yang dipilih akan bertanggung jawab atas pemerintahan selama periode tertentu. Masyarakat akan menggunakan hak pilih melalui surat suara, hingga hasil pemilu dinyatakan sah setelah melalui proses penghitungan dan verifikasi.
Namun, masih banyak masyarakat yang tidak memanfaatkan hak pilih mereka dengan baik. Golongan ini biasanya disebut Golongan Putih atau golput. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Pada pemilu 2014, jumlah pemilih golput mencapai 58,61 juta orang atau 30,22%. Pada Pemilu 2019, terdapat 34,75 juta orang atau setara 18,02% dari seluruh daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 192,77 juta orang.
Golput mencerminkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam menjunjung tinggi demokrasi. Sebab, demokrasi sendiri memerlukan partisipasi. Partisipasi warga adalah dasar dari sistem demokratis itu sendiri. Hak pilih juga merupakan bagian dari hak dan tanggung jawab kewarganegaraan. Jika golput, warga negara tidak dapat memainkan peran dalam pembentukan perwakilan yang sesuai dengan keragaman masyarakat.
Dalam meminimalisir golput, masyarakat dapat memanfaatkan hak pilih dengan pertimbangan rasional. Melihat rekam jejak dan menggali program visi misi kandidat untuk orientasi ke depan juga dapat dikerahkan. Hal itu disampaikan salah satu pakar komunikasi politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr Gun Gun Heryanto MSi, Rabu (24/01) kemarin di Ruang Dekanat Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM) UIN Jakarta.
Menurutnya, meskipun memilih pemimpin bukanlah kewajiban, melainkan hak, tetapi memanfaatkan hak pilih dan meniadakan golput merupakan tanggung jawab sosial politik sebagai warga negara. Sebab, hal itu menjadi cerminan dari demokrasi yang naik kelas. Salah satu prasyarat demokrasi yang naik kelas adalah pemilih yang melaksanakan tanggung jawabnya.
“Ketika memilih, masyarakat elite biasanya memiliki kepentingan dalam memilih. Sedangkan yang menjembatani adalah masyarakat berperhatian seperti mahasiswa yang sudah melek, tetapi belum terjun langsung ke dalam aktivitas politik. Piramida terbawah adalah masyarakat awam yang rawan terpapar mobilisasi karena perilaku kolektif. Contohnya seperti vote buying, atau memilih karena pertimbangan emosional. Dengan itu, anak muda mesti membantu memusatkan perhatian pada informasi yang terverifikasi dalam memilih,” ujar Gun Gun saat diwawancarai.
Gun Gun menambahkan, saat ini banyak platform di media sosial seperti Bijak Memilih dan JariUngu sebagai inisiatif partisipasi non-konvensional. Platform tersebut akan membantu masyarakat dalam mengumpulkan informasi yang cukup. Inisiatif platform juga menjunjung informasi yang kredibel dan terverifikasi sehingga masyarakat dapat mempertimbangkan dengan bijak, serta mengoptimalkan hak pilih dengan baik.
Sementara narasumber lainnya, Irwan Sunandar ST, Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan (Panwascam) Sawangan, Kota Depok sangat menyayangkan warga negara yang memilih langkah golput. Sebab, pemimpin yang terpilih adalah mereka yang menentukan kebijakan lima tahun ke depan. Meskipun hanya satu suara, suara rakyat adalah suara yang dibutuhkan dalam menentukan baik dan buruknya suatu wilayah, pemerintahanya, hingga negara keseluruhan.
“Satu suara yang tidak berdampak justru akan mempengaruhi segalanya. Pilihlah pemimpin yang sesuai dengan selera dan harapan. Gunakanlah hak pilih dengan baik karena sekarang media sosial sudah canggih. Banyak informasi yang bisa diakses untuk memilih dan memantapkan pilihan,” tutur Irwan.
Irwan berharap, dengan lebih mudah dan terbukanya informasi untuk menentukan hak pilih, masyarakat lebih pintar dalam menganalisis berita yang beredar. Masyarakat terus meningkatkan kepedulian terhadap informasi yang valid untuk hasil memilih yang baik juga. Dengan ini, pemilu akan berjalan adil, terbuka dan damai. Karena semakin banyak pilihan dari kepala yang berbeda, maka semakin banyak ketidaksesuaiannya.