REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3, Mahfud MD menerima pertanyaan mengenai Mahkamah Konstitusi (MK) yang pernah membatalkan tentang pasal dinasti politik dalam gugatan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota (Pilkada). Pertanyaan tersebut diterimanya dalam acara "Tabrak Prof!".
"Yang jadi masalah kalau untuk memenuhi kebutuhan dinasti politik itu, melakukan rekayasa hukum terhadap hukum yang berlaku. Sehingga yang tidak boleh dilakukan, lalu dilakukan menggunakan pendekatan-pendekatan yang kasar," tutur Mahfud, Jumat (26/1/2024).
Diketahui, MK pernah menggelar sidang uji materil UU Pilkada adalah terkait Pasal 7 huruf r. Di dalamnya mengatur syarat yang melarang bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/perkawinan dengan petahana.
Namun menurut MK, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 huruf i Ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. MK juga melihat Pasal 7 huruf r juga memicu rumusan norma baru yang tidak dapat digunakan karena tidak memiliki kepastian hukum.
Waktu itu, MK sebenarnya menyadari bahwa dilegalkannya seseorang yang memiliki hubungan darah/perkawinan dengan kepala daerah dapat membuat politik dinasti. Namun hal itu tidak dapat dijadikan alasan, lantaran ada UUD yang mengatur supaya tidak terjadi diskriminasi.
Mahfud mengatakan sudah tidak menjabat sebagai ketua MK ketika adanya gugatan terhadap UU Pilkada. Namun, ia menegaskan, dinasti politik sudah tidak lagi menjadi objektif untuk kepentingan rakyat.
Kendati demikian, ia menilai munculnya langkah-langkah dari seorang yang menjadi induk dari dinasti politik tersebut. Tujuan dari pihak tersebut adalah untuk melakukan pemenangan atas dinastinya sendiri.
"Itu yang tidak boleh, dan itu sebenarnya jorok kalau dilakukan oleh pemerintah sebesar negara kesatuan Republik Indonesia ini," ujar Mahfud.