Senin 05 Feb 2024 18:32 WIB

Ketua KPU RI Hanya Disanksi Peringatan Keras tidak Dipecat, KIPP: Ini Dagelan

Sanksi DKPP terkait penerimaan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Ketua KPU Hasyim Asyari bersiap memberikan keterangan pers terkait persiapan debat Pemilu 2024 di Gedung KPU, Jakarta, Jumat (5/1/2024). Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menggelar debat ketiga Pilpres 2024 dimana merupakan  debat kedua antar capres yang akan digelar di Istora Senayan, Jakarta , Ahad (7/1/2024) malam. Debat tersebut mengangkat tema pertahanan, keamanan, hubungan internasional, globalisasi, geopolitik, dan politik luar negeri.
Foto: Republika/Prayogi
Ketua KPU Hasyim Asyari bersiap memberikan keterangan pers terkait persiapan debat Pemilu 2024 di Gedung KPU, Jakarta, Jumat (5/1/2024). Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menggelar debat ketiga Pilpres 2024 dimana merupakan debat kedua antar capres yang akan digelar di Istora Senayan, Jakarta , Ahad (7/1/2024) malam. Debat tersebut mengangkat tema pertahanan, keamanan, hubungan internasional, globalisasi, geopolitik, dan politik luar negeri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta memprotes putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI soal sanksi peringatan keras terakhir kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari. Sanksi ini berkaitan penerimaan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden (cawapres).

Kaka mendesak DKPP bisa mengeluarkan sanksi yang lebih berat kepada Ketua KPU RI. Kaka mengingatkan pelanggaran etik ini bukan pertama kalinya dilakukan oleh ketua KPU RI. 

Baca Juga

"Ini putusan dagelan karena sanksi terhadap Ketua dan anggota KPU bukan baru, ini (putusan DKPP) bukan sesuatu yang serius," kata Kaka kepada Republika, Senin (5/1/2024). 

Kaka menilai, DKPP mestinya mempertimbangkan sanksi lebih keras kepada Ketua KPU RI Dkk. Hal ini menurut Kaka berkaitan dengan kepastian penyelenggaraan Pemilu 2024 tak melanggar kode etik. 

"Kalau memang terbukti, harusnya tidak peringatan keras, harus ada sanksi tegas untuk efek jera dan memastikan kepastian hukum pemilu dan etika penyelenggara pemilu," ujar Kaka. 

Dalam Pasal 22 Peraturan DKPP Nomor 2 tahun 2017, DKPP berwenang menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara atau pemberhentian tetap terhadap Penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Oleh karena itu, Kaka menganggap putusan DKPP ini seperti macan kertas alias tidak ada ketegasan. 

"Artinya, kalau dibutuhkan (sanksi) pemberhentian maka harus ada dalam diktum putusannya pemberhentian, ini hanya peringatan keras saja. Jadi dianggap tidak beri solusi pada problem yang ada," ujar Kaka. 

Kaka juga mengingatkan DKPP agar menjaga marwah penyelenggaraan Pemilu 2024. Salah satu caranya menjatuhkan sanksi tegas kepada penyelenggara Pemilu pelanggar kode etik. 

"Putusannya memang harus tegas, karena ini ambigu. Publik anggap ini dagelan. DKPP justru buang-buang kepercayaan publik dengan cara ini," ujar Kaka. 

"Kita hormati proses persidangan, tapi hasilnya membuat kepercayaannya di hadapan publik tergerus, padahal dibutuhkan sekali lembaga-lembaga seperti Bawaslu, DKPP, MK untuk menjaga keadilan pemilu," ujar Kaka. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement