Rabu 14 Feb 2024 19:43 WIB

Bawaslu: Banyak Indikasi Pelanggaran, Pemilu Metode Pos dan KSK Diulang di Kuala Lumpur

Rangkaian pelanggaran dimulai dari DP4LN yang tercloklit 12 persen di KL.

Rep: Febrian Fachri/ Red: Agus raharjo
Tangkapan layar Ketua Bawaslu Rahmat Bagja
Foto: Tangkapan layar
Tangkapan layar Ketua Bawaslu Rahmat Bagja

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Rahmat Bagja, mengatakan berdasarkan rekomendasi dari Panitia Pengawasan (Panwas) di Kuala Lumpur, Malaysia, Pemilu dengan metode pos dan metode Kota Suara Keliling (KSK) harus diulang. Menurut Bagja, saat pelaksanaan metode pos dan metode KSK di Kuala Lumpur banyak terdapat indikasi pelanggaran.

Sehingga kata dia untuk dua metode tersebut di KL harus diulang. "Untuk Pemilu di Kuala Lumpur, ada rekomendasi pemungutan suara ulang untuk metode pos, dan KSK serta tak dihitungnya hasil pemungutan suara metode pos dan KSK di seluruh wilayah Kuala Lumpur. Ini dilakukan panwas KL karena telah ditemukan dugaan pelanggaran administratif pemilu yang kemudian panwaslu KL mengeluarkan rekomendasi kepada PPLN," kata Bagja di Kantor Bawaslu, Jakarta Pusat, Rabu (14/2/2024).

Baca Juga

Bagja menjelaskan rekomendasi Panwas Pemilu di KL adalah, pertama, tidak menghitung hasil suara metode pos di seluruh wilayah Kuala Lumpur. Kedua, tidak menghitung metode KSK di seluruh wilayah KL.

Ketiga, masyarakat memungut suara ulang dengan metode pos dan KSK. Keempat pelaksanaan pemungutan suara ulang didahului pemutakhiran data untuk metode pos dan KSK. Kelima tidak menetapkan semua pemilih yang sudah memilih di TPS untuk tidak diikutkan dalam metode pos dan KSK.

"Terakhir harus mengevaluasi metode pos dan KSK di KL," ucap Bagja.

Rangkaian pelanggaran dalam metode pos dan KSK di Kuala Lumpur menurut Bagja diantaranya dimulai dari Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu Luar Negeri (DP4LN) yang hanya tercoklit (pencocokan dan penelitian) 12 persen di KL. Lalu terdapat 18 panitia pemutakhiran data pemilih (pantarlih) fiktif yang tidak pernah berada di KL. Selanjutnya pergeseran 50 ribu pemilih TPS menjadi KSK.

"Metode pos bermasalah karena tak sampai kepada pemilih, muncul peristiwa seseorang yang belum diketahui identitasnya menguasai ribuan surat suara metode pos. Pelaksanaan KSK di KL, banyak KSK jauh dari DPT di KL. KSK dilakukan tanpa seizin otoritas lokal. Banyak DPT memilih lebih dari satu kali di KSK," ucap Bagja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement