Sabtu 17 Feb 2024 20:42 WIB

Organisasi Sipil Rekomendasikan Pemungutan Suara Luar Negeri Lewat Pos Dihapus

Terjadi kekacauan menjelang pemungutan suara, terutama di Malaysia dan Hongkong.

Rep: Eva Rianti/ Red: Erik Purnama Putra
Direktur Migran Care, Wahyu Susilo.
Foto: Republika/Debbie Sutrisno
Direktur Migran Care, Wahyu Susilo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Organisasi masyarakat sipil merekomendasikan agar pemungutan suara di luar negeri melalui pos dihapuskan. Hal itu lantaran merespons munculnya banyak pemilih yang pada akhirnya kehilangan hak suara hingga potensi terjadi perdagangan atau transaksi surat suara.

Direktur Migran Care Wahyu Susilo menjelaskan, terjadinya kekacauan menjelang pemungutan suara, terutama di wilayah Malaysia dan Hongkong, menjadi pemicunya. Dua negara itu memang paling banyak pekerja migran Indonesia. Hal itu diantaranya terjadi karena praktik pemungutan suara lewat pos yang tidak efektif.

"Kekacauan menjelang pemungutan suara di Kuala Lumpur ada ratusan ribu orang mencoba masuk dapil yustisi karena sebagian besar tidak terdaftar di DPT. Di Hongkong 70 ribu orang tidak bisa mendapatkan hak pilihnya karena ternyata ada perubahan mendadak dari mekanisme TPS ke mekanisme pos," kata Wahyu dalam konferensi pers 'Jaga Pemilu, Jaga Suara 2024, Kecurangan Pemilu, dan Omong-Omong Media' di Jakarta pada Sabtu (17/2/2024).

Wahyu menjelaskan, anomali terjadi di Hongkong, setelah dilakukan perubahan mekanisme pos, yang mendapatkan jatah memilih di tempat pemungutan suara (TPS) hanya mencapai 2.390 orang. Itu pun yang menyalurkan hak suaranya hanya sepertiganya saja.

"Shifting ini sebagian besar tidak diketahui oleh pemilih yang awalnya mencoblos di TPS, jadi sebagian besar enggak dapat hak pilih. Ironisnya, dari 2.390 pemilih di TPS di Hongkong, hanya sekitar 753 yang nyoblos pada waktu itu, padahal logistik masih sangat tersedia," kata Wahyu.

Dari kasus tersebut, Wahyu menuding ada upaya pihak tertentu untuk menghalang-halangi pekerja migran untuk hak pilihnya. Dia pun mengkritik mekanisme pemungutan suara lewat pos yang mestinya dihapus.

Wahyu juga menceritakan kasus yang ditemukan di Malaysia. Dia menyebut, ada banyak 'pedagang suara' memanfaatkan momen itu. Para pedagang suara biasanya nongkrong di loker dan mengambil surat yang tidak terpakai, kemudian dijual. Dia pun menyinggung adanya surat suara yang sudah tercoblos, yang viral di media sosial.

"Yang menjadi perhatian kami adalah metode pemungutan suara melalui pos memang sangat riskan sekali terjadi penggelembungan suara dan kecurangan, serta perdagangan surat suara. Kasus yang viral surat sudah dicoblos itu kan salah satu dari mafia surat suara, sehingga kami memang merekomendasikan metode pos itu harus dihapuskan," kata Wahyu.

Selain itu, Wahyu menilai, pemungutan suara lewat pos memang tidak efektif, dibandingkan dengan metode kotak suara keliling (KSK) dan TPS yang ada mekanisme pengawasan dan pemantauan dengan adanya panitia pengawas luar negeri. Sementara dengan cara pos tidak sama sekali ada pengawasan.  

Tidak hanya itu, Wahyu menambahkan, akar dari persoalan yang terjadi adalah adanya kekacauan pada pendataan DPT di luar negeri. Dia mengungkap tren kemerosotan jumlah DPT dalam tiga pemilu terakhir. Dia mencatat, pada Pilpres 2014 terdapat 2,5 juta pemilih, pada 2019 menurun menjadi 2,3 juta pemilih.

"Pada 2024 malah menjadi 1,7 juta. Ini berbanding terbalik dengan pantauan kami hilir mudiknya penyelenggara pemilu melakukan bimtek ke sana (luar negeri). Kan harusnya bimtek punya dampak pada peningkatan DPT, tapi yang terjadi seperti itu," jelas Wahyu.

Dia juga menemukan data, di lapangan banyak daftar pemilih tetap (DPT) di luar negeri, yang orangnya sudah pulang ke Tanah Air. Sayangnya, orang tersebut masih dikirimi dikirimi surat pemungutan suara. Belum lagi, pemilih tidak terdaftar di DPT dengan paspor baru, tapi malah terdaftar di paspor yang sudah kedaluarsa.

Menurut dia, fenomena itu jumlahnya mencapai ribuan orang. "Lalu pada saat menjelang pemungutan suara, kami ambil sampel dua DPT luar negeri, yaitu New York dan Johor Baru, dan kami temukan ribuan data pemilih ganda. Ini berpotensi terjadi penggelembungan suara," jelas Wahyu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement