Jumat 22 Mar 2024 21:43 WIB

Hak Politik Difabel Dinilai Belum Utuh dalam Pemilu 2024

Pelanggaran bisa dialami saat proses pemungutan suara berlangsung.

Rep: Febrian Fachri/ Red: Muhammad Hafil
SIGAB Indonesia, Pusat Rehabilitasi Yakkum, dan Formasi Disabilitas, melalui dukungan Program INKLUSI merilis laporan pemantauan pada Pemilu 2024  pada Jumat (22/3/2024). 
Foto: Dok Republika
SIGAB Indonesia, Pusat Rehabilitasi Yakkum, dan Formasi Disabilitas, melalui dukungan Program INKLUSI merilis laporan pemantauan pada Pemilu 2024  pada Jumat (22/3/2024). 

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-- Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia, Pusat Rehabilitasi Yakkum, dan Formasi Disabilitas, melalui dukungan Program INKLUSI (Kemitraan Australia - Indonesia untuk Mewujudkan Masyarakat Inklusif), merilis laporan pemantauan pada Pemilu 2024  pada Jumat (22/3/2-24 . Laporan pemantauan menunjukkan pelanggaran yang dialami pemilih difabel selama proses penyelenggaraan Pemilu 2024.

Koordinator SIGAB, Nur Syarif Ramadhan, mengatakan pemantauan dilakukan dari periode kampanye hingga pencoblosan dan rekapitulasi penghitungan surat suara dengan melibatkan 218 relawan pemantau dari 20 Provinsi. Para pemantau disebar ke 218 TPS di 42 Kabupaten/Kota, di 20 Provinsi.

Baca Juga

"Hasil pemantau mencatat 45 persen TPS yang tidak memiliki informasi data pemilih difabel. Situasi ini berimplikasi pada pengabaian terhadap layanan, aksesibilitas dan pendampingan yang dibutuhkan pemilih difabel. Temuan ini sama dengan hasil survei persepsi pemilih difabel yang dilakukan Aksi Kolektif ini sebelumnya, bahwa rendahnya difabel yang tercatat sebagai pemilih difabel 35,7 persen. Sementara, 44,9 persen difabel terdata sebagai bukan pemilih dan sisanya 19,4 persen tidak mengetahui status mereka sebagai pemilih," kata Syarif.

Syarif menilai penyediaan aksesibilitas dan pemahaman Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) terkait layanan yang aksesibel dan pendampingan bagi difabel tidak didasarkan pada data yang akurat. Pihaknya menduga kemungkinan besar tidak banyak petugas di TPS yang mengetahui keberadaan pemilih difabel. Sehingga pelanggaran bisa dialami saat proses pemungutan suara berlangsung.

“Saya sendiri, di Makassar, kemarin tidak terdata sebagai difabel, padahal saya difabel,” ujar Syarif.

Selain masalah pendataan, Syarif menilai kelayakan aksesibilitas bagi pemilih difabel di TPS juga masih jauh dari harapan. Temuan menunjukkan bahwa sekitar 54 persen pemilih difabel fisik yang menggunakan kursi roda mengalami kesulitan saat memasukkan surat suara ke dalam kotak suara. Selain itu, sekitar 41 persen petugas KPPS tidak memberikan instruksi non-verbal saat memanggil pemilih difabel sensorik tuli. Kemudian 84 persen TPS tidak menyediakan Juru Bahasa Isyarat (JBI), dan sekitar 69 persen di antaranya tidak memberikan informasi tentang tata cara pemungutan dengan bahasa isyarat.

Syarif melanjutkan, di sisi lain, pemahaman petugas pemilihan terhadap alat bantu pencoblosan (template) bagi pemilih difabel sensorik netra juga masih belum merata. Dari 27 persen TPS yang diamati, sekitar 43 persen pemilih difabel netra menghadapi kesulitan saat memberikan hak pilihnya di bilik suara. Lebih lanjut, sekitar 35 persen petugas KPPS kata Syarif tidak memberitahu pemilih difabel netra tentang ketersediaan template dan cara penggunaannya. Sementara 33 persen template yang tersedia di TPS sulit digunakan oleh difabel netra. Kemudian ada 45 TPS di 15 Provinsi yang belum menyediakan formulir C3 di beberapa lokasi pemungutan suara.

“Padahal Formulir C3 dibutuhkan untuk memastikan asas kerahasiaan bagi pemilih dan proses pendampingan bagi pemilih difabel,” lanjut Syarif.

Berdasarkan hasil pemantauan ini, Syarif menekankan beberapa rekomendasi. Pertama, Pengawas dan penyelenggara Pemilu perlu mengeluarkan kebijakan afirmatif yang menekankan pentingnya inklusi difabel dalam seluruh tahapan Pemilu, mulai dari partisipasi partai politik hingga pemilihan kepala daerah dan kepala negara.

Kedua, diperlukan panduan kampanye yang memastikan keterlibatan aktif dan inklusi difabel serta kelompok rentan lainnya, termasuk akses yang memadai terhadap materi dan kegiatan kampanye.

Ketiga, KPU harus memastikan penunjukkan status dan jenis disabilitas pada Daftar Pemilih Sementara (DPS) dan Daftar Pemilih Tetap (DPT) di semua tingkatan, sehingga Petugas Pemungutan Suara (PPS) dapat memahami keberadaan difabel yang akan menggunakan hak pilihnya.

Temuan ini dikonfirmasi Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja. Bagja mengatakan Bawaslu juga mencatat ada pendamping pemilih difabel yang tidak menandatangani form C3 di 5.836 TPS. Temuan-temuan Bawaslu sudah disampaikan kepada KPU untuk menjadi perbaikan perbaikan, terutama menyambut Penyelenggaraan Pilkada.

“Kita punya PR besar didepan mata meski Pilkada masih akan dilaksanakan pada bulan November. KPU harus memperbaiki daftar pemilihnya,” ucap Bagja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement