Kamis 04 Apr 2024 15:59 WIB

Eddy Hiariej: Perkara Keabsahan Pencalonan Gibran Bukan Kewenangan MK

KPU menerima pendaftaran Prabowo-Gibran berlandaskan putusan MK.

Rep: Febryan A/ Red: Agus raharjo
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kanan) besama hakim konstitusi lainnya memimpin sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dengan pemohon pasangan no urut 03 Ganjar Pranowo dan Mahfud MD di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (2/4/2024). Agenda sidang lanjutan tersebut yaitu Pembuktian Pemohon (Mendengarkan keterangan ahli dan saksi Pemohon serta Pengesahan alat bukti tambahan Pemohon). Tim Hukum Ganjar-Mahfud menghadirkan 9 ahli dan 10 saksi dalam sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) tersebut.
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kanan) besama hakim konstitusi lainnya memimpin sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dengan pemohon pasangan no urut 03 Ganjar Pranowo dan Mahfud MD di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (2/4/2024). Agenda sidang lanjutan tersebut yaitu Pembuktian Pemohon (Mendengarkan keterangan ahli dan saksi Pemohon serta Pengesahan alat bukti tambahan Pemohon). Tim Hukum Ganjar-Mahfud menghadirkan 9 ahli dan 10 saksi dalam sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Pidana UGM Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej menyebut, Mahkamah Konstitusi (MK) tak berwenang mengadili perkara terkait keabsahan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres. Pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud diketahui meminta MK mendiskualifikasi Prabowo-Gibran karena menganggap pencalonan Gibran tidak sah.

"Masalah keabsahan tersebut (pencalonan Gibran) adalah sengketa proses dan bukan merupakan kewenangan MK," kata Eddy yang berbicara sebagai ahli pasangan Prabowo-Gibran dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2024 di Gedung MK, Kamis (4/4/2024).

Baca Juga

Eddy menjelaskan, lantaran ihwal pencalonan merupakan sengketa proses, seharusnya pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud menyatakan keberatan ketika KPU mengeluarkan keputusan yang mengesahkan pencalonan Prabowo-Gibran. Pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud seharusnya menggugat keputusan KPU itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Menurut dia, ketika pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud tidak mengajukan gugatan, berarti mereka melepaskan haknya. Lebih lanjut, pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud juga tak pernah mempersoalkan pencalonan Gibran sepanjang masa kampanye.

"Secara de facto pada masa kampanye, saat debat calon presiden dan wakil presiden, hal ini tidak pernah dipersoalkan. Artinya ada pengakuan secara diam-diam (terhadap pencalonan Gibran)," ujarnya.

Terkait substansi gugatan, Eddy menilai KPU hanya melaksanakan putusan MK Nomor 90 ketika menerima pendaftaran Gibran. Karena itu, menurut dia, Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud seharusnya mempersoalkan MK, bukan KPU.

Sebagai gambaran, Putusan MK Nomor 90 diketahui mengubah syarat batas usia minimum capres-cawapres sehingga seseorang yang belum berusia 40 tahun asalkan pernah/sedang menjadi kepala daerah boleh menjadi capres-cawapres. Putusan itu membukakan jalan untuk Gibran Rakabuming Raka (36 tahun) menjadi cawapres pendamping Prabowo.

KPU menerima pendaftaran Prabowo-Gibran berlandaskan putusan tersebut pada 25 Oktober 2023. Namun, KPU baru merevisi Peraturan KPU (PKPU) terkait syarat pendaftaran calon agar sesuai dengan putusan MK tersebut pada 3 November 2024. Karena itu, kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud mendalilkan bahwa pencalonan Gibran tidak sah sehingga Prabowo-Gibran harus didiskualifikasi.

Eddy mengatakan, putusan MK kekuatanya setara dengan undang-undang. Ketika Putusan MK Nomor 90 dibacakan, maka peraturan di bawahnya yang bunyinya bertentangan otomatis batal demi hukum.

"Dengan demikian dalil terkait keabsahan paslon Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka itu sebetulnya sudah close the case," ujar mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement