Sabtu 20 Apr 2024 15:30 WIB

Tim Hukum Ganjar-Mahfud: MK Paling Berwenang Diskualifikasi Paslon

Menurut Todung, MK berwenang memerintahkan pemungutan suara ulang.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus raharjo
Kuasa hukum Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Todung Mulya Lubis akan mengajukan permohonan untuk memanggil Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam sidang sengketa Pilpres 2024, di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (2/4/2024).
Foto: Republiika/Nawir Arsyad Akbar
Kuasa hukum Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Todung Mulya Lubis akan mengajukan permohonan untuk memanggil Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam sidang sengketa Pilpres 2024, di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (2/4/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Tim Hukum Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Todung Mulya Lubis mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki tiga kewenangan pada putusan sengketa Pilpres 2024. Kewenangan tersebut hadir dengan melihat fakta-fakta persidangan yang ada.

Pertama, MK berwenang untuk menerapkan diskualifikasi kepada pihak terkait, dalam hal ini adalah Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Kedua, MK berwenang untuk memerintahkan pemungutan suara ulang atas dasar pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Baca Juga

Terakhir, MK berwenang untuk memerintahkan pemungutan suara ulang di seluruh tempat pemungutan suara (TPS) atas dasar pelanggaran prosedur pemilihan umum. "Dengan pelanggaran Pilpres 2024 yang terbukti di persidangan, maka MK berwenang untuk menerapkan diskualifikasi dan/atau pemungutan suara ulang sebagai konsekuensi dari adanya pelanggaran TSM dan/atau pelanggaran prosedur yang menguntungkan paslon tertentu," ujar Todung lewat keterangannya, Sabtu (20/4/2024).

Ia mengungkapkan lima kategori pelanggaran yang membuat Pilpres 2024 harus diulang pelaksanaannya. Pertama adalah pelanggaran etika yang dilakukan secara tak kasat mata. Pelanggaran tersebut dimulai dengan hadirnya Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang melanggengkan Gibran  menjadi calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo.

Pelanggaran kedua adalah praktik nepotisme yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Upaya tersebut dilakukan untuk memuluskan putra sulungnya maju dalam kontestasi nasional.

Ketiga adalah penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power dari Jokowi. Praktik tersebut terjadi di seluruh wilayah Indonesia secara terkoordinasi dan masif dengan melibatkan banyak aparat negara.

Keempat adalah pelanggaran prosedural pemilu. Hal tersebut terlihat dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang terkesan abai dengan berbagai pelanggaran yang terjadi.

Terakhir adalah penyalahgunaan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Penggunaan sistem tersebut justru menimbulkan kekacauan, kontroversi, dan dugaan penggelembungan suara.

"Majelis Hakim Konstitusi yang Mulia, seluruh hal yang terjadi dalam perkara ini akan dicatat oleh sejarah. Sejarah pun akan mencatat pilihan yang akan diambil oleh tiap-tiap hakim konstitusi yang memeriksa perkara ini," ujar Todung.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement