Sabtu 02 Dec 2023 17:53 WIB

Format Debat Pilpres 2024 yang Berubah tak Seperti 2019 Dinilai Sebagai Kemunduran

Pada Pilpres 2024, tak ada debat terpisah khusus capres atau cawapres seperti 2019.

Rep: Ronggo Astungkoro, Flori Sidebang/ Red: Andri Saubani
Desain surat suara Pilpres 2024.
Foto: Tangkapan Layar
Desain surat suara Pilpres 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Format debat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dilihat sebagai sebuah kemunduran. Dengan tidak adanya debat secara terpisah yang khusus menghadirkan capres ataupun cawapres, publik dirugikan dari sisi hak konstitusional warga negara karena mereka tak diberikan ruang untuk mendapatkan referensi yang memadai tentang figur kepemimpinan otentik masing-masing kandidat. 

“Jelas merupakan kemunduran. Dari sisi hak konstitusional warga negara, publik dirugikan karena mereka tidak diberikan ruang untuk mendapatkan referensi yang memadai tentang figur kepemimpinan otentik pada masing-masing kandidat pemimpin, baik capres maupun cawapres, sebelum rakyat menentukan pilihannya di bilik suara pada 14 Februari 2024,” ujar Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan lewat keterangannya, Sabtu (2/12/2023).

Baca Juga

Diketahui, KPU RI memutuskan untuk mengubat format debat capres- cawapres pada Pilpres 2024 hingga berbeda dengan Pilpres 2019. Di mana, lima kali debat Pilpres 2024 terdiri atas tiga kali debat antar capres dan dua kali antar cawapres, semuanya akan dihadiri secara bersamaan oleh pasangan capres-cawapres. Tak ada putaran debat secara terpisah yang khusus hanya dihadiri capres atau cawapres seperti pada Pilpres 2019. 

Dalam lima kali debat itu pasangan capres-cawapres selalu hadir bersamaan, hanya porsi berbicara yang dibedakan, tergantung sesi debat pilpres yang sedang berlangsung, apakah debat capres atau debat cawapres. Pada debat Pilpres 2019, debat diawali dengan sesi pasangan capres lengkap, lalu pada sesi berikutnya ada debat yang hanya dihadiri oleh capres dan hanya dihadiri oleh cawapres. 

Dengan berubahnya format debat kali ini, menurut Hasan, KPU semakin menebalkan kecurigaan publik bahwa patut diduga KPU tunduk pada intervensi kekuatan politik eksternal mereka. Hasan mengatakan, kecurigaan semakin rasional sebab keputusan KPU tersebut hadir di tengah beberapa konteks yang sangat kasat mata. 

“Yang lebih serius lagi, KPU semakin menebalkan kecurigaan publik bahwa patut diduga KPU tunduk pada intervensi kekuatan politik eksternal mereka,” jelas dia. 

Konteks-konteks yang dia sebut sangat kasat mata adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/2023 yang memberikan jalan bagi anak presiden sekaligus keponakan Ketua MK saat itu, Gibran Rakabuming Raka, untuk melenggang sebagai cawapres bagi capres Prabowo Subianto.

“Sebagaimana diketahui bersama, secara substantif maupun prosedural putusan tersebut bermasalah dan, dalam berbagai pernyataan publik, SETARA menyebutnya sebagai kejahatan konstitusional alias constitutional evil,” kata Hasan. 

Kedua, putusan Majelis Kehormatan MK yang pada pokoknya menegaskan, secara kelembagaan MK terbukti dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 melalui Ketua MK yang sudah diberhentikan, yaitu Anwar Usman, ipar presiden sekaligus paman cawapres Gibran.

Konteks selanjutnya soal pernyataan publik Ketua KPK Periode 2015-2019, Agus Rahardjo, bahwa saat KPK mengungkap kasus korupsi e-KTP dan menetapkan Ketua DPR RI saat itu, Setya Novanto, sebagai tersangka, Presiden Jokowi marah dan meminta KPK untuk menghentikan pengungkapan kasus itu. KPK dalam kenyataannya menolak permintaan itu.

“Konteks tersebut tentu menguatkan kecurigaan publik bahwa terdapat kekuatan politik, yang mengarah pada Istana Negara, yang kerap kali menggunakan kekuasaannya untuk mengintervensi lembaga-lembaga negara lainnya,” jelas Hasan.

KPU, kata dia, semestinya menimbang sentimen publik terkait kepercayaan mereka pada penyelenggaraan Pemilu sebagai ‘pertaruhan terakhir’ kelembagaan demokrasi, yang semakin surut dan mengarah pada otoriterisme. Tapi, dengan keputusan mengenai format debat Pilpres 2024, KPU telah menebalkan kecurigaan publik mengenai intervensi kekuasaan eksternal atas KPU.

“Sikap publik yang mencurigai keputusan KPU menguntungkan salah satu cawapres, yang gagasan dan kepemimpinan otentiknya sedang dinanti publik dalam Debat Pilpres 2024, merupakan kecurigaan yang masuk akal. Dalam konteks itu, KPU telah mempertaruhkan kredibilitas penyelenggaraan Pemilu sebagai salah satu pilar utama demokrasi,” kata dia.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement