Rabu 17 Jan 2024 22:22 WIB

Ganjar Ingin Independensi KPK Dikembalikan

Ganjar melihat digitalisasi keuangan menjadi salah satu upaya pencegahan korupsi.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Teguh Firmansyah
Calon presiden (capres) nomor urut 3, Ganjar Pranowo usai menghadiri acara PAKU Intergritas yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (17/12024) malam.
Foto: Republiika/Nawir Arsyad Akbar
Calon presiden (capres) nomor urut 3, Ganjar Pranowo usai menghadiri acara PAKU Intergritas yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (17/12024) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Calon presiden (capres) nomor urut 03, Ganjar Pranowo, mengatakan, pencegahan korupsi merupakan satu hal yang penting yang juga perlu diperhatikan. Ia sendiri memiliki tiga upaya dalam mencegah terjadinya korupsi.

Pertama adalah digitalisasi sistem keuangan. Cara tersebut dinilainya dapat memantau segala pergerakan dan juga menghadirkan penghematan anggaran.

Baca Juga

"Transaksi tunai itu sulit dilacak, maka mesti ada pembatasan. Kalau tidak salah, yang 100 juta itu mesti jadi komitmen, e-budgeting, e-planning untuk transparansi dalam birokrasi menjadi sebuah kewajiban," ujar Ganjar dalam sambutannya di acara PAKU Integritas yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (17/1/2024) malam.

Kedua adalah transparansi anggaran. Menurut dia, hal tersebut penting dalam menelusuri asal usul uang yang pengawasannya memerlukan komitmen langsung dari pemimpin tertinggi.

Terakhir adalah penguatan lembaga aparat penegak hukum, khususnya KPK. Sebab, menurut dia, komisi antirasuah itu harus dikembalikan independensi dan integritasnya dalam menjalankan tugas.

"Ketika KPK independen, menjaga independensi, dan integritas oleh aparatur di KPK itu penting, tidak untuk diintervensi oleh siapa pun," ujar Ganjar.

Ketua sementara KPK Nawawi Pomolango memaparkan empat hal yang perlu menjadi perhatian khusus presiden periode 2024-2029. Pertama adalah penguatan instrumen Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

"Namun UU (Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) ini tidak menyebutkan sanksi yang tegas, selain sanksi administrasi untuk ketidakpatuhan terhadap kewajiban," ujar Nawawi dalam sambutannya.

"Akibatnya saat ini kepatuhan penyampaian LHKPN secara lengkap diabaikan oleh sekitar 10 ribu dari 371 ribu penyelenggara negara," sambungnya.

Poin kedua yang harus diperhatikan adalah koordinasi dan supervisi. Jelasnya, Koordinasi dan supervisi menjadi dua dari tugas utama yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

Namun, kewenangan KPK yang diamanatkan UU KPK belum berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun telah memiliki kebijakan, aturan, dan regulasi sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas tersebut.

"(Ketiga) Penguatan kelembagaan KPK. Lima orang pimpinan KPK dan Dewan Pengawas akan dipilih melalui mekanisme yang sudah ditetapkan dalam UU KPK. Presiden memiliki peran yang penting dalam proses pemilihan dalam kandidat calon pimpinan dan Dewan Pengawas KPK ke depannya," ujar Nawawi.

Keempat adalah perbaikan komunikasi dalam kerangka penegakan hukum. Sebagaimana yang tadi ia sebutkan, dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas koordinasi dan supervisi membutuhkan juga peran presiden dan wakil presiden.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement