REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Polemik netralitas Presiden Joko Widodo dalam Pemilu 2024 menggelinding, menjadi bola panas. Bagaimana dengan wewenang Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR)? Apakah memiliki kewenangan dalam menyoal keterlibatan presiden dalam sebuah hajatan pemilu?
Pakar hukum tata negara asal UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr Nur Habibi, menjelaskan MPRadalah lembaga yang harus merawat 4 pilar negara (Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI).
Selain merawat empat pilar tersebut, peraih gelar doktoral hukum tata negara dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini menegaskan bahwa MPR juga harus berperan sebagai pengawal demokrasi yang sehat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan sebaliknya yang menggerus demokrasi.
“Hal ini perlunya MPR ditambahkan wewenang tambahan di luar perkara pemakzulan sehingga pengawasannya juga bisa memanggil langsung para aktor politik yang duduk dalam jajaran ekskutif,” kata dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nur Habibi, dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Sabtu (3/2/2024).
Nur Habibi kemudian merumuskan wewenang apa saja yang bisa dilakukan oleh MPR, setelah tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana diberlakukan pada masa Orde Baru.
Pertama, memanggil dan memberi keringatan keras terhadap Presiden dan Wakil Presiden, jika melakukan tindakan ketidaknetralan dalam memimpin negara.
Dia menjelaskan, di antara wewenang tambahan diluar perkara pemakzulan, MPR harus diberi mandat untuk menjalankan pengawalan demokrasi yang sehat dan berkualitas untuk kehidupan rakyat menuju adil, makmur dan sejahtera tanpa adanya menggiring opini untuk memaksakan kehendak politiknya terhadap suksesi dan rotasi kepemimpinan yang akan datang.
“Jika masih resmi menjabat sebagai Presiden dan tetap bersikap negarawan serta diserahkan kepada partai politik bakal pengusung bacapres,” kata Nur Habibi.
Kedua, memanggil Presiden dan Wakil Presiden yang menyuburkan oligarki dan nepotisme. Menurut Nur Habibi, di antara penggerus kebobrokan negara di antaranya adalah suburnya oligarki dan nepotisme yang terjadi dalam sebuah negara, oleh karena itu MPR sebagai lembaga pengawal demokrasi harus diberi kewenangan sosiologis, politis dan administratif dalam mencegah terjadinya oligarki dan nepotisme negara ini, lebih-lebih Presiden dan Wakil Presiden yang melakukannya.