REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mencatat ada 403 laporan yang masuk terkait dugaan pelanggaran netralitas ASN dalam Pemilu 2024. Dari jumlah tersebut, 183 ASN di antaranya terbukti melanggar netralitas.
Kemudian dari 183 ASN tersehut, sebanyak 97 ASN atau 53 persen di antaranya sudah dijatuhi sanksi oleh pejabat pembina kepegawaian (PPK). Data di atas disebut sebagai anomali karena jumlah ASN yang terbukti melanggar lebih sedikit dibandingkan dengan saat Pilkada serentak 2020 lalu.
“Apakah ada yang tutup mata atau menyembunyikan laporan pelanggaran netralitas ASN yang terjadi?” kata Wakil Ketua KASN Tasdik Kinanto dalam siaran pers, Jumat (9/2/2024).
Dia menjelaskan, pada Pilkada serentak 2020 yang diikuti oleh 270 daerah, tercatat 2.034 ASN yang dilaporkan dan 1.597 ASN atau 78,5 persen di antaranya terbukti melanggar netralitas. Sedangkan jelang Pemilu dan Pilpres 2024 yang akan diikuti oleh 38 provinsi dan 514 kabupaten/kota, KASN memprediksi akan terjadi lonjakan yang signifikan tekait pelanggaran netralitas ASN.
Dia juga menyampaikan, pelanggaran netralitas ASN yang dilaporkan ke KASN jelang Pemilu dan Pilpres 2024, makin nekat. Ada ASN yang menggunakan sumber daya birokrasi, merekayasa regulasi, mobilisasi sumber daya manusia (SDM), alokasi anggaran, bantuan program, hingga menggunakan fasilitas sarana/prasarana untuk menunjukkan keberpihakan kepada salah satu pasangan calon.
"Kasus-kasus pelanggaran yang fakta-faktanya semakin nekat secara sistemik, masif, dan terstruktur, ternyata tidak berbanding lurus dengan laporan pelanggaran yang terjadi," kata dia.
Sementara itu, Ketua Jaga Pemilu Erry Riyana Hardjapamekas, mengakui, fenomena pelanggaran netralitas ASN itu dilatarbelakangi oleh adanya konflik kepentingan yang mengganggu integritas ASN. Sebab itu, dia menekankan, ASN harus bertekad kuat untuk menjaga netralitasnya.
Selain ada lembaga pengawas, saat ini ada pula aktor lain yang ikut mengawasi seperti masyarakat sipil yang membentuk gerakan dan siap membantu menjaga keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
“Jadi, jika Anda seorang ASN yang sedang berada pada situasi tekanan atau perintah ketidaknetralan menjelang Pemilu dan Pemilihan 2024, jangan ragu untuk melapor melalui kanal-kanal pengaduan yang menjamin kerahasiaan seperti JAGA Pemilu,” kata Erry.
Di samping itu, Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi menegaskan, penyelenggara Pemilu juga merupakan salah satu kelompok yang harus diawasi netralitasnya. Terlebih ASN yang bertugas sebagai penyelenggara pemilu. Jika melanggar etika netralitas, maka akan mendapatkan sanksi yang lebih berat karena adanya Kode Etik dan Disiplin ASN serta Kode Etik Penyelenggara Pemilu.
“Penyelenggaraan pemilu bukan hanya soal legitimasi atau administrasi yang harus sesuai dengan hukum. Namun juga soal kepercayaan publik yang hanya bisa dibangun dengan mewujudkan pemilu yang profesional, serta penyelenggara yang berintegritas, termasuk ASN di dalamnya,” ujar dia.
Lebih lanjut, Ahli Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengatakan, independensi lembaga negara dalam mengawasi netralitas ASN jelang Pemilu dan Pemilihan 2024 masih belum maksimal. Dia melihat ada ruang kosong di mana lembaga penyelenggara dan pengawas tidak berjalan.
“Lembaga pengawas malah tidak bisa melakukan putusan progresif untuk membangun implikasi hukum. Di saat yang sama, para ASN dan pemimpin ASN yang kita harapkan bisa menjadi netral malah tidak melakukan itu,” kata Zainal.
DIa kemudian menyarankan, Indonesia perlu berbenah untuk mengembalikan demokrasi ke publik, membentuk kelembagaan alternatif yang independen, juga berani merapikan tiga perundang-undangan krusial, yaitu Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, dan Undang-Undang Lembaga Kepresidenan.