Senin 01 Apr 2024 14:24 WIB

PDIP akan Ajukan Gugatan ke PTUN Soal Kecurangan Pemilu

Gugatan ke PTUN bukan untuk membatalkan hasil Pilpres 2024.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus raharjo
Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sekaligus anggota Komisi IV DPR Djarot Syaiful Hidayat di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Selasa (3/1).
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sekaligus anggota Komisi IV DPR Djarot Syaiful Hidayat di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Selasa (3/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berencana untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) ihwal dugaan kecurangan pemilihan umum (Pemilu) 2024. Saat ini, kajian masih dilakukan oleh partai berlambang kepala banteng tersebut.

"Ini lagi dibahas, lagi digodok tentang materi gugatan kita di PTUN," ujar Djarot di Media Center TPN Ganjar-Mahfud, Jakarta, Senin (1/4/2024).

Baca Juga

Kendati demikian, ia menjelaskan bahwa gugatan ke PTUN bukanlah untuk membatalkan hasil Pilpres 2024. Tujuan gugatan adalah untuk mencegah kecurangan kembali terjadi pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024.

"Ke PTUN dalam rangka itu, untuk mencari keadilan dan supaya pelaksanaan pemilu, kelemahan-kelemahan yang terjadi yang kita rasakan, kita lihat berbagai penyimpangan-penyimpangan itu, tidak lagi terjadi pada pemilu yang akan datang," ujar Djarot.

Rencana pengajuan gugatan ke PTUN merupakan inisiatif dari partai berlambang kepala banteng itu. PDIP tentu membuka pintu jika partai politik lain juga ingin melakukan langkah yang serupa.

"Kita sudah bahas di dalam dan perlunya kita untuk bisa menggugat secara PTUN. Kalau partai lain kita serahkan pada partai yang bersangkutan," ujar mantan gubernur DKI Jakarta itu.

Sebelumnya, Tim hukum Ganjar Pranowo-Mahfud MD menuding Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan nepotisme yang melahirkan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Hal tersebut dilakukan Jokowi untuk memenangkan pasangan calon tertentu.

Nepotisme yang dilakukan oleh Jokowi dapat diklasifikasikan menjadi tiga skema. Pertama, nepotisme untuk memastikan Gibran Rakabuming Raka memenuhi syarat untuk menjadi kontestan Pilpres 2024.

"Lalu keikutsertaan Anwar Usman dalam Perkara Nomor 90 Tahun 2023, sampai dengan digunakannya termohon untuk menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka, yang mana akhirnya keduanya dinyatakan melanggar etika," ujar anggota tim hukum Ganjar-Mahfud, Annisa Ismail dalam sidang perdana perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) pemilihan presiden (Pilpres) 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (27/3/2024).

Skema kedua adalah menyiapkan jaringan yang diperlukan untuk mengatur jalannya Pilpres 2024. Hal tersebut dimulai dengan penunjukan penjabat (Pj) kepala daerah yang memiliki kedekatan dengan Jokowi.

Bentuk nepotisme ketiga adalah memastikan agar Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memenangkan Pilpres 2024 dalam satu putaran. Untuk mewujudkannya, Jokowi melakukan berbagai cara.

"Mengadakan pertemuan-pertemuan dengan berbagai pejabat di berbagai lini, mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah desa. Yang kemudian dikombinasikan dengan politisasi bansos, sebagaimana terlihat dari aspek waktu pembagian, aspek jumlah yang dibagikan, aspek pembagi bantuan sosial, dan tentunya aspek penerima bansos," ujar Annisa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement