Kamis 25 Jan 2024 12:33 WIB

Analisis Yusril Soal Presiden Boleh Berkampanye, dari Pasal 280 Hingga Code of Conduct

Pakar hukum Yusril Ihza Mahendra menganalisi soal presiden boleh berkampanye.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra. Pakar hukum Yusril Ihza Mahendra menganalisi soal presiden boleh berkampanye.
Foto:

Selain itu, Yusril mempertanyakan ihwal ungkapan tidak etis yang diarahkan kepada Presiden Jokowi jika berpihak pada salah satu kandidat capres. Ia mengingatkan adanya perbedaan antara norma etik dengan code of conduct

"Kalau etis dimaknai sebagai norma mendasar yang menuntun perilaku manusia yang kedudukan normanya berada di atas norma hukum, hal itu merupakan persoalan filsafat, yang harusnya dibahas ketika merumuskan Undang-Undang Pemilu," kata Yusril. 

"Tetapi kalau etis dimaknai sebagai code of conduct dalam suatu profesi atau jabatan, maka normanya harus dirumuskan atas perintah undang-undang seperti kode etik advokat, kedokteran, hakim, pegawai negeri sipil dan seterusnya. Masalahnya, sampai sekarang code of conduct presiden dan wakil presiden (dilarang kampanye atau berpihak) itu belum ada," lanjut Yusril.

Atas dasar itulah, Yusril mempertanyakan indikator etis yang dialamatkan kepada Jokowi. Ia menduga ketika seseorang berbicara etis dan tidak etis, umumnya berbicara menurut ukurannya sendiri. 

"Bahkan, orang kurang sopan santun atau kurang basa-basi saja sudah dianggap tidak etis. Apalagi dibawa ke persoalan politik, soal etis tidak etis, malah terkait dengan kepentingan politik masing," ujar Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan Presiden hingga menteri boleh berkampanye dan memihak dalam pemilu. Hal itu disampaikan Presiden Jokowi di Pangkalan TNI AU Halim, Jakarta, Rabu (24/1/2024).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement